The Fed dan Kekuatan Ekonomi
AS
The Fed atau Fedral Reserve merupakan bank sentral Amerika Serikat yang telah
berdiri sejak tahun 1913. Salah satu tugas utamanya adalah menyelenggarakan
kebijakan moneter negara dengan mempengaruhi kondisi moneter (jumlah uang
beredar baik aktif maupun pasif) dan kredit dalam ekonomi dengan tujuan
penyerapan tenaga kerja maksimal, harga yang stabil, serta tingkat suku bunga
jangka panjang yang moderat [1].
Dengan kata lain, The Fed bisa mengendalikan jumlah uang dolar Amerika yang
diseluruh dunia ini dengan berbagai instrumen kebijakannya.
Seperti yang kita ketahui,
Amerika Serikat merupakan negara super power dengan kekuatan ekonomi yang besar.
Hal ini dikarenakan AS memikli tingkat PDB tertinggi di dunia, meskipun mungkin
Uni Eropa memiliki PDB yang hampir sama,
tetap saja jumlah penduduk negara perserikatan ini jauh lebih banyak. Begitu banyaknya negara-negara di dunia yang melakukan transaksi bisnis dengan AS, sehingga mata uang dollar Amerika dapat diterima diseluruh dunia menyamai peran emas[2]. Dengan diterima luasnya dolar Amerika sebagai alat tukar perdagangan antar negara, dolar AS bisa membeli barang dan jasa di seluruh muka bumi ini. Otomatis setiap negara harus memiliki dolar AS agar bisa bertransaksi dengan negara lain, bahkan negara musuh AS sekalipun. Hampir semua negara di dunia saat ini menjadikannya sebagai alat penyimpan kekayaan atau devisa negara yang utama. David joy, Kepala strategi Pasar Ameriprise Financial Inc, berpendapat “Perekonomian AS menguasai sekitar 20 persen perekonomian global. Apapun yang terjadi di AS akan dirasakan di seluruh dunia”. Perekonomian AS sejak dulu adalah kekuatan besar dalam perekonomian dunia sehingga muncul pepatah “jika AS bersin, yang terkena pilek adalah Eropa”. Pepatah tersebut berasal dari tahun 1929 ketika Wall Street jatuh dan dampaknya terasa hingga Eropa[3]. Celakanya, kekuatan dolar AS yang begitu besar dikendalikan oleh satu instansi yang bahkan pemerintah AS sendiri tidak dapat campur tangan di dalam pembuatan kebijakannya, yakni The Fed.
tetap saja jumlah penduduk negara perserikatan ini jauh lebih banyak. Begitu banyaknya negara-negara di dunia yang melakukan transaksi bisnis dengan AS, sehingga mata uang dollar Amerika dapat diterima diseluruh dunia menyamai peran emas[2]. Dengan diterima luasnya dolar Amerika sebagai alat tukar perdagangan antar negara, dolar AS bisa membeli barang dan jasa di seluruh muka bumi ini. Otomatis setiap negara harus memiliki dolar AS agar bisa bertransaksi dengan negara lain, bahkan negara musuh AS sekalipun. Hampir semua negara di dunia saat ini menjadikannya sebagai alat penyimpan kekayaan atau devisa negara yang utama. David joy, Kepala strategi Pasar Ameriprise Financial Inc, berpendapat “Perekonomian AS menguasai sekitar 20 persen perekonomian global. Apapun yang terjadi di AS akan dirasakan di seluruh dunia”. Perekonomian AS sejak dulu adalah kekuatan besar dalam perekonomian dunia sehingga muncul pepatah “jika AS bersin, yang terkena pilek adalah Eropa”. Pepatah tersebut berasal dari tahun 1929 ketika Wall Street jatuh dan dampaknya terasa hingga Eropa[3]. Celakanya, kekuatan dolar AS yang begitu besar dikendalikan oleh satu instansi yang bahkan pemerintah AS sendiri tidak dapat campur tangan di dalam pembuatan kebijakannya, yakni The Fed.
Bagaimana Perekonomian Indonesia?
Di jaman globalisasi ini,
perekonomian antar negara semakin terkait satu sama lain. Bisnis semakin mengglobal
dengan arus barang, jasa, modal dan tenaga kerja yang semakin bebas lintas
batas negara. Tidak terkecuali di negara kita, Indonesia. Indonesia termasuk
negara yang sangat aktif di dalam kegiatan bisnis internasional. Terbukti dengan
banyaknya kerjasama ekonomi internasional yang di jalinnya seperti, APEC, AEC, OEEC,
kerjasama Indonesia-Australia, Kerjasama Indonesia-China dsb.
Jika dilihat dari
sisi pasar barang dan jasa, hal ini dikarenakan banyaknya kebutuhan dalam negeri
yang tidak terpenuhi oleh industri dalam negeri sehingga harus impor , selain
itu juga perlunya industri dalam negeri untuk melakukan ekspor dalam rangka
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dari sisi pasar modal, Indonesia merupakan
negara yang sangat menguntungkan untuk berinvestasi dengan berbagai alasan
seperti melimpahnya usia kerja yang terampil, tenaga kerja yag murah,
stabilitas politik, melimpahnya sumber daya alam serta besarnya pangsa pasar ekonomi
kelas menengah sehingga banyak arus modal asing yang masuk ke Indonesia.
Konsekuensi
dari itu semua adalah ketergantungan perekonomian kita terhadap pasar global
sangat besar demikian pula dengan kebutuhan kita akan dolar AS sebagai alat
transaksi. Bank Indonesia mencatat cadangan devisa Indonesia pada akhir Desember
2013, sebesar 99,4 miliar AS atau setara dengan 1.192,8 triliun rupiah (kurs
12.000). cadangan devisa tersebut dapat cukup untuk membiayai 5,6 bulan impor
atau 5,4 ekspor dan pembayaran utang luar negeri[4].
Lalu bagaimana seandainya harga dolar turun? Tentunya cadangan devisa negara
kita akan ikut turun dan kemampuan kita untuk impor barang berkurang kemudian
terjadi akibat beruntun bagi perekonomian dalam negeri. Demikian pula jika
dolar menguat terhadap rupiah akan berdampak buruk terhadap perekonomian dalam
negeri. Sekali lagi itu semua dikendalikan oleh The Fed.
Cara The Fed mempengaruhi perekonomian Indonesia?
Kita semua tentunya kini ikut
merasakan bagaimana dampak melemahnya rupiah terhadap dolar AS. Bagaimana ini
semua bisa terjadi? Nilai tukar sebuah mata uang ditentukan oleh relasi
penawaran-permintaan (supply-demand) atas mata uang tersebut. Jika permintaan
atas sebuah mata uang meningkat, sementara penawarannya tetap atau menurun,
maka nilai tukar mata uang itu akan naik. Kalau penawaran sebuah mata uang
meningkat, sementara permintaannya tetap atau menurun, maka nilai tukar mata
uang itu akan melemah. Dengan demikian, Rupiah melemah karena penawaran atasnya
tinggi, sementara permintaan atasnya rendah. Memang ada banyak faktor yang
menyebabkan melemahnya tingkat permintaan atas rupiah.
Namun dalam kasus
melemahnya rupiah terhadap dolar AS saat ini dikarena keluarnya sejumlah besar
investasi portofolio (surat berharga atau jenis uang pasif) asing dari
Indonesia. Keluarnya investasi portofolio asing ini menurunkan nilai tukar
Rupiah, karena dalam proses ini, investor menukar Rupiah dengan mata uang
negara lain untuk diinvestasikan di negara lain. Artinya, terjadi peningkatan
penawaran atas Rupiah. Adapun indikasi dari keluarnya investasi portofolio
asing ini bisa dilihat dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung
menurun seiring dengan kecenderungan menurun dari Rupiah[5].
Mengapa investor bisa secara
serentak bereaksi untuk mengalihkan dana investasi mereka ke negara AS? Alasan
yang sering disebut adalah karena rencana the Fed (bank sentral AS) untuk
mengurangi Quantitative Easing (QE). Rencana ini dinyatakan oleh Ketua the Fed,
Ben Bernanke, di depan Kongres AS pada 22 Mei 2013. Tidak lama setelah itu,
mata uang di beberapa negara emerging markets
(negara berkembang yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi dengan cepat} pun
anjlok. Yang dimaksud dengan QE di sini adalah program the Fed untuk mencetak
uang dan membeli obligasi atau aset-aset finansial lainnya dari bank-bank di
AS. Program ini dilakukan untuk menyuntik uang ke bank-bank di AS demi
pemulihan diri pasca-krisis finansial 2008.
Rencana pengurangan QE memberikan
pesan bahwa ekonomi AS menyehat. Karenanya, nilai tukar obligasi dan aset-aset
finansial lain di AS akan naik. Inilah ekspektasi para investor portofolio yang
mengeluarkan modalnya dari negara-negara emerging
markets. Mereka melihat bahwa di depan, investasi portofolio di AS akan
lebih menguntungkan daripada di negara-negara emerging markets. Dalam tiga bulan terakhir, yield obligasi jangka
panjang pemerintah AS sendiri telah naik. Sebagai contoh, yield obligasi
10-tahun pemerintah AS yang menjadi benchmark, naik sekitar 125 bps dalam tiga
bulan terakhir[6].
Ketika Kepala Bank Sentral AS
(The Federal Reserve/The Fed) Ben Bernanke berucap, seluruh dunia seakan-akan
mengikuti ucapannya. Pasar saham di seluruh dunia akan bergerak mengikuti
komentar Bernanke yang menjadi penanda kebijakan moneter AS. Tapi The Fed (atau
bank sentral manapun) bukanlah orang bijak, penyelamat, apalagi peramal namun
ucapannya mempunyai pengaruh yang luar biasa besar terhadap pasar. Prediksi
pasar mengenai komentar yang bahkan belum diucapkan Bernanke bisa membuat pasar
Asia jatuh atau malah naik[7].
Dampak melemahnya rupiah terhadap perekonomian Indonesia
Ketika rupiah melemah berbagai
akibat akan secara cepat bisa dirasakan di pasar barang dan jasa, khususnya di
Indonesia. Dampak yang paling mencolok adalah melambungnya harga komoditi impor
karena harga komoditi impor di patok dengan mata uang negara asal. Jika mata
uang negara tujuan jatuh maka harga komoditi impor akan naik. Kenaikan harga barang impor akan
menyebabkan inflasi dalam negeri karena di Indonesia masih banyak barang
konsumsi, alat produksi maupun bahan baku yang di impor. Dari data BPS, kita
bisa lihat inflasi di bulan Juni adalah 1,03 persen, lalu meningkat menjadi
3,29 persen pada Juli. Sementara, pada bulan Agustus, inflasi menurun menjadi
1,12 persen. Inflasi tahun kalender (Januari-Agustus) 2013 adalah 7,94 persen
dan ini merupakan inflasi tahunan tertinggi sejak 2009[8].
Jika terjadi inflasi maka daya beli konsumen akan menurun. Perekonomian akan
lesu. Karena menurunnya penjualan serta tekanan utang luar negeri, akan banyak terjadi
PHK bahkan bisa jadi perusahaan akan tutup. Selanjutnya jumlah daftar orang
miskin dan pengangguran meningkat. Dampak lainnya yang tak kalah penting adalah
naiknya utang luar negeri. Ketika rupiah melemah 10% misalnya, maka utang luar
negeri akan meningkat sebesar 10% juga. Itu karena pembayaran utang luar negeri
harus menggunakan uang negara asalnya.
Begitulah cara The Fed
mempengaruhi perekonomian Indonesia. Apapun kebijakan dari the Fed akan
berpengaruh besar khususnya bagi negara-negara emerging market. Apa yang
dipaparkan di atas baru gejala masalah yang muncul di permukaan. Kita belum
membahas “akar masalah” yang sesungguhnya. Mengapa itu semua bisa terjadi?. Tentunya
akan membutuhkan penjelasan yang panjang dan lebar. Untuk itu, sebagai saran
dari penulis kita harus mulai mengurangi ketergantungan terhadap mata uang
dolar AS yang memiliki volatiitas dan resiko tinggi. Kita bisa menggantinya
dengan mata uang non dolar, seperti Euro, Yen dan Pounsterling atau Emas yang
sudah terbukti tak pernah mengalami penuruan nilai dan sangat stabil. Selain itu,
kita harus banyak menyerap modal dari dalam negeri agar tidak mudah terpengaruh
dengan mobilitas modal asing. Terakhir memperkuat industri dalam negeri untuk
memenuhi kebutuhan pasar adalah solusi untuk mengurangi ketergantungan impor
yang berlebih sehingga neraca perdagangan kita akan surplus.
[1] Fedral reserve
system. Wikipedia.org
[2] Sutan
Dijo. “Trend Mata Uang Dollar Amerika
Serikat”. Kompasiana.com. 18 Januari 2013. http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/02/07/trend-matauang-dolar-amerika-serikat-69526.html
[3] Faisal
Maliki Baskoro.”Bagaimana Benanke Membuat
Seluruh Pasar Modal Tunduk Padanya”. Beritasatu.com.20 Januari 2014. http://www.beritasatu.com/pasar-modal/130675-bagaimana-bernanke-membuat-seluruh-pasar-modal-tunduk-padanya.html
[4] Citro
Atmoko. “Cadangan Devisa Indonesia 99,4 Miliar
Dolar”. www. Antaranews.com. 19 Januari 2014. http://www.antaranews.com/berita/413105/cadangan-devisa-indonesia-994-miliar-dolar
[5] Mohamad
Zaki Hussein.”Krisis Mata Uang Rupiah
2013:Penyebab dan Dampaknya”. Indoprogres.com. 18 Januari 2014. http://indoprogress.com/krisis-mata-uang-rupiah-2013-penyebab-dan-dampaknya/
[6] Ibid [5]
[7] Ibid [3]
[8] Badan
Pusat Statistik, “Indeks Harga Konsumen dan Inflasi Bulanan Indonesia,”
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=03¬ab=7.
No comments:
Post a Comment