untuk perbaikan silahkan berikan masukan,kritik,dan sarannya terhadap konten maupun blog ini di komentar atau buku tamu

Monday, January 13, 2014

Kejahatan Sistem Kapitalis dan Inflasi


http://indoprogress.com


Inti dari permasalahan yang menyebabkan turunnya nilai mata uang terhadap barang adalah inflasi. Pertanyaan utamanya adalah mengapa harus inflasi dan apa penyebabnya?. Secara teoritis yang selama ini diketahui, ada 2 penyebab utama inflasi itu yaitu tarikan permintaan (demand full inflation) dan desakan biaya (cost push inflation). Terjadinya inflasi di Indonesia saat ini bukan karena tarikan permintaan tetapi lebih banyak karena desakan biaya dan sistim keuangan serta sistem ekonomi yang berlaku saat ini yaitu sistim kapitalis.

Kelemahan utama dari sistim kapitalis saat ini adalah menjadikan uang sebagai komoditi dan alat spekulasi dalam perekonomian. Karena uang sebagai komoditi maka, nilai uang tidak lagi sesuai dengan nilai riilnya. Inilah penyebab mengapa nilai uang selalu merosot terhadap barang. Selain itu uang mempunyai fungsi sebagai alat produksi (uang dapat menghasilkan uang) melalui bunga (interest) yang
dilakukan oleh bank. Bank merupakan mesin utama dalam sistim ekonomi kapitalis (Dwi Condro Triono. 2008). Mesin kedua dari sistim ekonomi kapitalis adalah pasar modal yang notabene lebih bersifat spekulatif (judi), dan nilai saham lebih banyak ditentukan oleh opini pemilik modal. Pasar bursa selama ini tidak memberikan kontribusi yang nyata terhadap sektor riil, bahkan cenderung bersifat semu sehingga pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh pasar bursa menjadikan pertumbuhan ekonomi seperti balon (bubble economic) yang setiap saat mudah pecah/kempes.

Selain itu, sistim bunga dalam sektor keuangan telah menimbulkan krisis ekonomi. Tingkat bunga mempunyai hubungan dengan tingkat inflasi. Menurut teori kuantitas, kenaikan dalam tingkat pertumbuhan uang sebesar 1 persen menyebabkan kenaikan tingkat inflasi sebesar 1 persen, selanjutnya dari persamaan Fisher dapat dinyatakan pula bahwa kenaikan 1 persen tingkat inflasi akan menaikkan suku bunga nominal sebesar 1 persen. Dari fakta ini jelas bahwa suku bunga dan inflasi mempunyai hubungan yang positif. Hubungan positif antara suku bunga dan tingkat inflasi ditunjukkan dari data empiris berikut ini;


Dari data empiris pada Gambar 1 di atas terlihat bahwa tingkat suku bunga nominal dan inflasi mempunyai hubungan yang positif. Di Negara-negara dengan tingkat inflasi yang tinggi, maka tingkat bunga nominal cenderung tinggi pula. Dari hasil penelitian Robert Shiler tahun 1997 (Mankiw. 2007) bahwa 77 persen dari masyarakat yang di survey menyatakan bahwa inflasi mengganggu daya beli mereka dan membuat mereka lebih miskin. Jika inflasi membuat orang lebih miskin dan kita ketahui bahwa inflasi mempunyai hubungan yang positif dengan bunga, maka ini berarti bahwa “suku bunga membuat orang lebih miskin”. Dengan kata lain suku bunga merusak daya beli dan memiskinkan orang yang meminjam uang maupun yang tidak meminjam uang serta menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dari fakta ini dapat dikatakan bahwa “Inflasi = bunga” yaitu sama-sama menurunkan daya beli masyarakaat dan menjadikan masyarakat lebih miskin.

Pasar finansial menjadikan dunia ini melengkung, sehingga kita tidak bisa melihat apa yang ada dibalik lengkungan (kaki langit) itu. Pasar finansial selalu dipenuhi oleh informasi yang tidak pasti dan tidak lengkap, tidak transfaran (Smick. 2008). Itulah sebabnya menurut Smick, krisis keuangan yang terjadi pada tahun 2007 – 2008 masih merupakan krisis awal. Sepanjang abad 20, (Roy Davies dan Glyn Davies. 1996) dalam buku mereka a history of money from ancient times to the present day, menyatakan bahwa, telah terjadi lebih dari 20 krisis ekonomi di bumi ini (kesemuanya merupakan krisis sektor keuangan). Ini berarti bahwa krisis-krisis lain akan terus bermunculan dan waktu terjadinya krisis satu ke krisis lain semakin singkat dan krisis-krisis itu menurunkan nilai uang terhadap barang.

Financial Inballance di AS disebut-sebut bukan karena kredit macet pada subprime mortgage tetapi disebabkan adanya perusahaan-perusahaan investasi dan bank yang bermain atau melakukan transaksi derevatif di sektor keuangan melalui collateralized debt obligations (CDOs). Kerugian akibat transaksi derevatif tersebutlah yang menyebabkan banyak lembaga keuangan terutama yang bergerak dalam sekuritas mengalami kebangkrutan. Transaksi produk derevatif sebagai alat hedging (perlindungan nilai) secara pasti menjadi alat spekulasi yang mempunyai resiko tinggi. Filosofi investasi di sekuritas yaitu high risk, higt return tapi nyatanya yang terjadi adalah high risk no return.

Lembaga keuangan AS Lehman Brothers yang bangkrut 15 September 2008 menjadi pemicu kebangkrutan lembaga keuangan lain di Amerika. Kasus-kasus kebangkrutan lembaga keuangan sekuritas tidak hanya terjadi di negara maju seperti Amerika, di negara berkembangpun mengalami hal yang serupa. Di Indonesia, kasus yang dialami Lehman Brothers dialami pula oleh PT. Antaboga Delta Sekuritas dan kemudian merembet pada Bank Century dan Sarijaya Sekuritas (Infobank. April 2009).

Bukti lain menunjukkan bahwa, dengan sistem keuangan konvensional seperti saat ini, transaksi di pasar uang (financial market) lebih besar dibandingkan dengan transaksi di sektor riil. Volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation dan derivative market) dunia dalam sehari mencapai US$ 1,5 triliun.
Sedangkan volume transaksi yang terjadi pada perdagangan dunia di sektor real hanya US$ 6 trilliun setiap tahun (BI. 2009). Itu berarti bahwa dalam setahun dikurangi hari minggu dan sabtu (96 hari) maka transasksi keuangan di pasar uang sebesar US $ 1,5 triliun x 365 -96 = 403.5 triliun US$ per tahun sedangkan transaksi di pasar barang hanya US$ 6 triliun per tahun atau hanya 0,015 % dari transaksi pasar keuangan. Fakta ini menunjukkan ketidak seimbangan yang besar antara transaksi keuangan dengan transkasi barang. 

Ketidakseimbangan dalam sektor keuangan dan sektor riil memunculkan bubble economics yang selanjutnya merupakan awal dari malapetaka kehancuran ekonomi. Dari fakta ini jelas bahwa penyebab krisis keuangan dan krisis ekonomi global di picu oleh ketidakseimbangan antar jumlah uang dan barang serta harga uang alias bunga (interest) yang tinggi. Krisis tahun 2007 – 2008 merupakan krisis awal (Smick. 2008), selanjutnya akan menyusul krisis-krisis lain bila sistem keuangan yang berlaku tetap  seperti saat ini.
Bukti-bukti di atas seperti macetnya kredit subprime mortagage, tingginya suku bunga, adanya spekulasi yang tinggi dan pasar bursa yang bersifat seperti gelembung, sangat tingginya transaksi pasar uang dibandingkan dengan transaksi perdagangan barang memperkuat bukti kegagalan sistem keuangan dan sistim ekonomi kapitalisme dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan negara. Karena itu, kapitalis bukanlah suatu sistem ekonomi yang segala-galanya. Kapitalis lebih cenderung menimbulkan perbedaan yang makin besar antara yang kaya dengan yang miskin serta melanggengkan kemiskinan.



Sumber : Junal REDENOMINASI RUPIAH DAN SISTIM KEUANGAN oleh Prof. Dr. H. Amri Amir, SE., MS

No comments:

Post a Comment